Penegakan
Hukum dan Keadilan
dalam
Perspektif
Islam
(Dalil
Al-Qur’an dan As-Sunnah)
Al-qur’an dan sunnah sebagai sumber
hukum islam mengatur secara jelas dan tegas mengenai penegakan hukum dan
keadilan. Penegakan hukum dan keadilan merupakan hal yang sangat strategis dan
menentukan untuk menciptakan kehidupan yang baik antar masyarakat. Dengan
adanya penegakan hukum melalui lembaga-lembaga peradilan diharapkan masyarakat tidak
melakukan hal-hal yang mengakibatkan kerugian pada orang lain.
Syari’at islam
memandang keadilan sebagai masalah yang sangat fundamental. Keadilan itu
sendiri diformulasikan oleh Allah dalam Al-Qur’an dengan kata al-adl (لْعَدْلِا)
sebanyak 28 kali
dan dengan kata al-qisth(الْقِسْطِ) sebanyak 25
kali yang mempunyai arti tidak berat sebelah, atau menyamakan sesuatu dengan
yang lain. Keadilan itu berada dalam berbagai lapangan kehidupan, seperti dalam
bidang hukum, politik, sosial dan budaya, akidah dan lain-lain yang merupakan
sumber ketenteraman dan kedamaian bagi ummat manusia.
Banyak
sekali ayat dan hadis maupun qaul ‘ulama yang menjelaskan mengenai penegakan
hukum dan keadilan ini
A.An-Nisaa’ ayat 58
* ¨bÎ) ©!$# öNä.ããBù't br& (#rxsè? ÏM»uZ»tBF{$# #n<Î) $ygÎ=÷dr& #sÎ)ur OçFôJs3ym tû÷üt/ Ĩ$¨Z9$# br& (#qßJä3øtrB ÉAôyèø9$$Î/ 4 ¨bÎ) ©!$# $KÏèÏR /ä3ÝàÏèt ÿ¾ÏmÎ/ 3 ¨bÎ) ©!$# tb%x. $JèÏÿx #ZÅÁt/ ÇÎÑÈ
Artinya:
Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada
yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara
manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi
pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha
mendengar lagi Maha melihat.
Penjelasan:
Dari ayat diatas dapat diambil kesimpulan,
1.
Penguasa dan unsur-unsur penegak
hukum harus orang-orang yang profesional dan berintegritas.
2.
Keputusan penguasa/ hakim harus tepat
sasaran
3.
Penegakan hukum harus didasarkan pada
nilai keadilan
4.
Semua perilaku penguasa dan hakim
diketahui oleh Allah Subhanahu wata’ala
B.
ANNISA:135
* $pkr'¯»t tûïÏ%©!$# (#qãYtB#uä (#qçRqä. tûüÏBº§qs% ÅÝó¡É)ø9$$Î/ uä!#ypkà ¬! öqs9ur #n?tã öNä3Å¡àÿRr& Írr& ÈûøïyÏ9ºuqø9$# tûüÎ/tø%F{$#ur 4 bÎ) ïÆä3t $ÏYxî ÷rr& #ZÉ)sù ª!$$sù 4n<÷rr& $yJÍkÍ5 ( xsù (#qãèÎ7Fs? #uqolù;$# br& (#qä9Ï÷ès? 4 bÎ)ur (#ÿ¼âqù=s? ÷rr& (#qàÊÌ÷èè? ¨bÎ*sù ©!$# tb%x. $yJÎ/ tbqè=yJ÷ès? #ZÎ6yz ÇÊÌÎÈ
Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang
benar-benar penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah biarpun terhadap
dirimu sendiri atau ibu bapa dan kaum kerabatmu. jika ia[361] Kaya ataupun
miskin, Maka Allah lebih tahu kemaslahatannya. Maka janganlah kamu mengikuti
hawa nafsu karena ingin menyimpang dari kebenaran. dan jika kamu memutar
balikkan (kata-kata) atau enggan menjadi saksi, Maka Sesungguhnya Allah adalah
Maha mengetahui segala apa yang kamu kerjakan.
Penjelasan:
Ayat ini sejalan dengan dengan hadis Rasulullah Shallallahu
‘laihi wasallam
“Seorang wanita di jaman Rasulullah Saw
sesudah fathu Mekah telah mencuri. Lalu Rasulullah memerintahkan agar tangan
wanita itu dipotong. Usamah bin Zaid menemui Rasulullah untuk meminta
keringanan hukuman bagi wanita tersebut. Mendengar penuturan Usamah, wajah
Rasulullah langsung berubah. Beliau lalu bersabda : “Apakah kamu akan minta
pertolongan untuk melanggar hukum-hukum Allah Azza Wajalla?” Usamah lalu
menjawab, “Mohonkan ampunan Allah untukku, ya Rasulullah.” Pada sore harinya
Nabi Saw berkhotbah setelah terlebih dulu memuji dan bersyukur kepada Allah.
Inilah sabdanya : “Amma ba’du. Orang-orang sebelum kamu telah binasa disebabkan
bila seorang bangsawan mencuri dibiarkan (tidak dihukum), tetapi jika yang
mencuri seorang yang miskin maka dia ditindak dengan hukuman. Demi yang jiwaku
dalam genggamanNya. Apabila Fatimah anak Muhammad mencuri maka aku pun akan
memotong tangannya.” Setelah bersabda begitu beliau pun kembali menyuruh
memotong tangan wanita yang mencuri itu”. (HR. Bukhari)
Dari ayat dan hadis di atas dapat kita fahami bahwa:
Dari ayat dan hadis di atas dapat kita fahami bahwa:
1.
Menegakkan keadilan merupakan suatu kewajiban sebagaimana kaidah ushul fiqh hukum ashal dari perintah menunjukkan pada
kewajiban
2.
Tidak keluar dari prinsip keadilan
meskipun mendapat celaan atau pengaruh-pengaruh lain yang membuatnya bergeming
dari keadilan
3.
Mengadili perkara sebagaimana
mestinya meskipun terhadap keluarga ataupun kolega
4.
menjadi saksi dengan memberikan
keterangan yang sebenar-benarnya meskipun kesaksian itu ditujukan pada keluarga
ataupun kolega tanpa pandang bulu
5.
Adanya prinsip equality before the law
6.
Hakim memberikan vonis dalam kondisi
kejiwaan yang stabil
7.
Setiap perilaku hakim tidak luput
dari pengetahuan Allah subhanahu wata’ala
C.
Shaad ayat 26
ß¼ãr#y»t $¯RÎ) y7»oYù=yèy_ ZpxÿÎ=yz Îû ÇÚöF{$# Läl÷n$$sù tû÷üt/ Ĩ$¨Z9$# Èd,ptø:$$Î/ wur ÆìÎ7®Ks? 3uqygø9$# y7¯=ÅÒãsù `tã È@Î6y «!$# 4 ¨bÎ) tûïÏ%©!$# tbq=ÅÒt `tã È@Î6y «!$# öNßgs9 Ò>#xtã 7Ïx© $yJÎ/ (#qÝ¡nS tPöqt É>$|¡Ïtø:$# ÇËÏÈ
Hai Daud, Sesungguhnya Kami menjadikan kamu khalifah
(penguasa) di muka bumi, Maka berilah keputusan (perkara) di antara manusia
dengan adil dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, karena ia akan menyesatkan
kamu dari jalan Allah. Sesungguhnya orang-orang yang sesat darin jalan Allah
akan mendapat azab yang berat, karena mereka melupakan hari perhitungan.
Allah
Swt menyatakan dengan firman-Nya ini kepada Nabi Daud yang menjadi khalifah dan
representasi-Nya di tengah umat manusia sehingga
dapat berperan sebagaimana para nabi sebelumya yang menyeru masyarakat kepada
tauhid dan akhlak mulia.
Pada ayat ini, di samping meletakkan tanggung jawab risalah, Allah Swt juga membebani tugas peradilan dan menyelesaikan sengketa di antara masyarakat di atas pundak Nabi Daud As. Masyarakat membawa persoalan dan persengketaannya di hadapan Nabi Daud dan Nabi Daud mengadili persoalan tersebut lalu menyampaikan yang benar kepada mereka.
Kemudian Allah Swt melanjutkan firman-Nya:
“Dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, karena ia akan menyesatkan
kamu dari jalan Allah.”
Pada ayat ini, di samping meletakkan tanggung jawab risalah, Allah Swt juga membebani tugas peradilan dan menyelesaikan sengketa di antara masyarakat di atas pundak Nabi Daud As. Masyarakat membawa persoalan dan persengketaannya di hadapan Nabi Daud dan Nabi Daud mengadili persoalan tersebut lalu menyampaikan yang benar kepada mereka.
Kemudian Allah Swt melanjutkan firman-Nya:
“Dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, karena ia akan menyesatkan
kamu dari jalan Allah.”
Ayat ini
menandaskan bahwa tatkala menyelesaikan sengketa dan mengeluarkan hukum dan
mengadili tidak berdasarkan kecendrungan pribadi. Dalam masalah menyelesaikan
sengketa dan mengeluarkan hukum, ayat di atas menggunakan kata hak bahwa hukum
dan peradilan harus berdasarkan kebenaran dan fakta yang ada sehingga tiada
satu pun yang dizalimi dari dua pihak yang bersengketa.
Kalimat “Jangan
mengikut hawa nafsu” menegaskan bahwa hawa nafsu dan pelbagai kecendrungan
manusiawi berseberangan dengan kebenaran dan membuat orang berpaling dari jalur
Ilahi sehingga harus dijauhi.
Kalimat ini dialamatkan kepada Nabi Daud As, padahal dikarenakan kedudukan maksum, sangat mulia dan suci dari bersandar pada kecendrungan-kecendrungan dan keinginan-keinginan pribadinya dalam menyelesaikan sengketa masyarakat.
Kalimat ini dialamatkan kepada Nabi Daud As, padahal dikarenakan kedudukan maksum, sangat mulia dan suci dari bersandar pada kecendrungan-kecendrungan dan keinginan-keinginan pribadinya dalam menyelesaikan sengketa masyarakat.
Dalam
hal ini harus dikatakan bahwa pertama, ayat berada pada tataran pensyariatan
hukum Ilahi dan layak untuk mendapat penegasan. Kedua, peradilan dan
menyelesaikan sengketa, merupakan salah satu hukum Ilahi dimana pada
agama-agama samawi telah diperbaharui dan ditegaskan pada masa Nabi Daud.
Tentunya hal ini tidak bertentangan dengan masalah kemaksuman seorang nabi.
Karena adanya kemaksuman tidak menjadi dalil dicabutnya ikhtiar dari seorang
maksum dan seorang maksum sebagaimana orang lain juga menjalankan kewajiban dan
meninggalkan larangan. Namun kemaksuman tidak menjadi halangan munculnya penentangan.
Dengan kata lain, kemaksuman tidak menjadi penghalang taklif bagi seorang
maksum.
Namun sebagian ahli tafsir berkata bahwa Allah Swt memerintahkan Nabi Daud As untuk menghukumi berdasarkan kebenaran dan keadilan dan melarangnya untuk tidak mengikuti hawa nafsu merupakan peringatan bagi orang lain; artinya setiap orang yang memikul tugas melayani masyarakat maka yang harus menjadi panglima adalah kebenaran dan tidak mengikuti hawa nafsu. Karena disebabkan oleh kemaksuman yang dimilikinya, sekali-kali Nabi Daud tidak menghukumi kecuali berdasarkan kebenaran dan tidak mengikuti kebatilan.
Namun sebagian ahli tafsir berkata bahwa Allah Swt memerintahkan Nabi Daud As untuk menghukumi berdasarkan kebenaran dan keadilan dan melarangnya untuk tidak mengikuti hawa nafsu merupakan peringatan bagi orang lain; artinya setiap orang yang memikul tugas melayani masyarakat maka yang harus menjadi panglima adalah kebenaran dan tidak mengikuti hawa nafsu. Karena disebabkan oleh kemaksuman yang dimilikinya, sekali-kali Nabi Daud tidak menghukumi kecuali berdasarkan kebenaran dan tidak mengikuti kebatilan.
Akhir
frase ayat ini adalah,
“Sesungguhnya orang-orang yang sesat dari jalan Allah akan mendapat azab yang berat, karena mereka melupakan hari perhitungan.” (Qs. Shad [38]:26)
“Sesungguhnya orang-orang yang sesat dari jalan Allah akan mendapat azab yang berat, karena mereka melupakan hari perhitungan.” (Qs. Shad [38]:26)
Secara
umum adanya penegasan dan halangan dari kesesatan dan pelanggaran tugas Ilahi,
entah itu berada pada posisi menyelesaikan persengketaan hukum, atau
pelanggaran dosa besar yang akan menjadi sebab manusia layak mendapatkan azab.
Sumber dan sebab seluruh kesesatan dan maksiat adalah kelalaian, berpaling dari
hari kiamat dan pengingkaran terhadap hari perhitungan kelak di hadapan Allah
Swt, mengabaikan dan melupakan perhitungan dan hukuman atas setiap maksiat,
kesesatan dan penyimpangan di hari kiamat.
Dengan kata lain, kalimat ini merupakan dalil atas larangan mengikuti hawa nafsu.
Dengan kata lain, kalimat ini merupakan dalil atas larangan mengikuti hawa nafsu.
Mengikuti
hawa nafsu adalah faktor utama manusia lalai dan lupa akan hari perhitungan.
Lupa akan hari kiamat buntutnya adalah azab yang pedih. Yang dimaksud lupa di
sini adalah tidak mengindahkan akan hari kiamat.
Ayat ini menunjukkan bahwa tiada penyimpangan dan kesesatan dari jalan Allah, atau dengan kata lain tiada satu pun maksiat dari maksiat yang dilakukan terlepas dari lalai dan lupa dari hari perhitungan.Artinya bahwa akar seluruh maksiat dan pembangkangan itu adalah lalai dan lupa akan hari kiamat.
Ayat ini menunjukkan bahwa tiada penyimpangan dan kesesatan dari jalan Allah, atau dengan kata lain tiada satu pun maksiat dari maksiat yang dilakukan terlepas dari lalai dan lupa dari hari perhitungan.Artinya bahwa akar seluruh maksiat dan pembangkangan itu adalah lalai dan lupa akan hari kiamat.
D.
An-Nisaa’ ayat 105
!$¯RÎ) !$uZø9tRr& y7øs9Î) |=»tGÅ3ø9$# Èd,ysø9$$Î/ zNä3óstGÏ9 tû÷üt/ Ĩ$¨Z9$# !$oÿÏ3 y71ur& ª!$# 4 wur `ä3s? tûüÏZͬ!$yù=Ïj9 $VJÅÁyz ÇÊÉÎÈ
Artinya:
Sesungguhnya Kami telah menurunkan
kitab kepadamu dengan membawa kebenaran, supaya kamu mengadili antara manusia
dengan apa yang telah Allah wahyukan kepadamu, dan janganlah kamu menjadi
penantang (orang yang tidak bersalah), karena (membela) orang-orang yang
khianat
Dalam ayat ini Allah SWT. memerintahkan untuk
menjalankan hukum kepada manusia dengan benar dan adil. Keadilan yang
dijalankan janganlah berlaku hanya untuk semasa umat muslim saja, akan tetapi
juga diberlakukan kepada orang-orang yang berada di luar agama Islam.
Dalam ayat lain Allah memerintahkan untuk bertanya
kepada terdakwa yang merupakan salah satu alat bukti sebagaimana firmannya:
“Hai orang-orang
yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka
periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu
kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas
perbuatanmu itu. ([Al Hujuraat 6)
Lebih lanjut Allah SWT. memberikan penjelasan tentang
bagaimana kita memutuskan satu perkara dengan adil dan benar. Allah
mengisyaratkan agar menjadikan Al-Qur'an sebagai pedoman dan rujukan terhadap
setiap permasalahan yang dihadapi, agar keputusan yang dihasilkan sesuai dengan
tuntunan Allah SWT. Apabila hal tersebut tidak dijumpai dalam Al-Qur'an maka
selesaikan dengan cara berijtihad dengan ketentuan dari Allah SWT.
Di akhir ayat, Allah menjelaskan larangan bagi orang
yang beriman untuk menentang orang yang tidak membela orang orang yang telah
berkhianat. Hal ini merupakan perbuatan zalim, sedangkan Allah sangat membenci
perbuatan zalim dan menyukai perbuatan adil.
E.
Al-Maa’idah ayat 48
!$uZø9tRr&ur y7øs9Î) |=»tGÅ3ø9$# Èd,ysø9$$Î/ $]%Ïd|ÁãB $yJÏj9 ú÷üt/ Ïm÷yt z`ÏB É=»tGÅ6ø9$# $·YÏJøygãBur Ïmøn=tã ( Nà6÷n$$sù OßgoY÷t/ !$yJÎ/ tAtRr& ª!$# ( wur ôìÎ6®Ks? öNèduä!#uq÷dr& $£Jtã x8uä!%y` z`ÏB Èd,ysø9$# 4 9e@ä3Ï9 $oYù=yèy_ öNä3ZÏB Zptã÷Å° %[`$yg÷YÏBur 4 öqs9ur uä!$x© ª!$# öNà6n=yèyfs9 Zp¨Bé& ZoyÏnºur `Å3»s9ur öNä.uqè=ö7uÏj9 Îû !$tB öNä38s?#uä ( (#qà)Î7tFó$$sù ÏNºuöyø9$# 4 n<Î) «!$# öNà6ãèÅ_ötB $YèÏJy_ Nä3ã¥Îm6t^ãsù $yJÎ/ óOçGYä. ÏmÏù tbqàÿÎ=tFørB ÇÍÑÈ
48.
dan Kami telah turunkan kepadamu Al Quran dengan membawa kebenaran, membenarkan
apa yang sebelumnya, Yaitu Kitab-Kitab (yang diturunkan sebelumnya) dan batu
ujian[421] terhadap Kitab-Kitab yang lain itu; Maka putuskanlah perkara mereka
menurut apa yang Allah turunkan dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka
dengan meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu. untuk tiap-tiap umat
diantara kamu[422], Kami berikan aturan dan jalan yang terang. Sekiranya Allah
menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Allah hendak menguji
kamu terhadap pemberian-Nya kepadamu, Maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan.
hanya kepada Allah-lah kembali kamu semuanya, lalu diberitahukan-Nya kepadamu
apa yang telah kamu perselisihkan itu.
F. An-Nisaa’ ayat 129
$ygr'¯»t úïÏ%©!$# (#qãYtB#uä w (#þqè=à2ù's? Nä3s9ºuqøBr& Mà6oY÷t/ È@ÏÜ»t6ø9$$Î/ HwÎ) br& cqä3s? ¸ot»pgÏB `tã <Ú#ts? öNä3ZÏiB 4 wur (#þqè=çFø)s? öNä3|¡àÿRr& 4 ¨bÎ) ©!$# tb%x. öNä3Î/ $VJÏmu ÇËÒÈ
29.
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan
jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang Berlaku dengan suka
sama-suka di antara kamu. dan janganlah kamu membunuh dirimu; Sesungguhnya
Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.
Kaitan dengan penegakan hukum, ayat
ini memjelaskan tentang larangan Mencuri, korupsi maupun suap-menyuap. Ayat ini
dipertegas dengan sabda Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam.
Dari
Abu Hurairah radliyallahu ’anhu, ia
berkata: “Rasulullah shallallahu alaihi wasallam melaknat orang yang menyuap dan yang
disuap dalam masalah hukum”.(H.R Ahmad)
G.
Al-Furqon ayat 72
úïÏ%©!$#ur w crßygô±o ur9$# #sÎ)ur (#rsD Èqøó¯=9$$Î/ (#rsD $YB#tÅ2 ÇÐËÈ
72. dan
orang-orang yang tidak memberikan persaksian palsu, dan apabila mereka bertemu
dengan (orang-orang) yang mengerjakan perbuatan-perbuatan yang tidak berfaedah,
mereka lalui (saja) dengan menjaga kehormatan dirinya.
Ayat diatas memberikan larangan
memberikan keterangan/ kesaksian palsu. Ayat ini kemudian dipertegas oleh ayat
lain yang artinya: “Janganlah saksi-saksi
itu enggan (memberikan keterangan) apabila mereka dipanggil.” (QS al Baqarah
[2] : 282).
Saleh al-Fauzan dalam Fikih Sehari-hari
berpendapat, seorang saksi haruslah menjelaskan apa yang telah ia saksikan dan
ketahui. Kesaksian yang benar adalah sebuah kewajiban yang hukumnya fardu
kifayah. Kemudian disebutkan bahwa memberi kesaksian atau keterangan palsu
dikategorikan dalam kelompok dosa-dosa besar. Larangan menjadi saksi palsu juga
disebutkan dalam sebuah hadis yang artinya:
Jauhilah tujuh macam dosa yang bertingkat - tingkat (besar), diantaranya ialah :
1. Mempersekutukan Allah
2. Sihir
3. Membunuh diri yang diharamkan Allah kecuali dengan hak.
4. Makan harta riba
5. Makan harta anak yatim
6. Lari dari peperangan
7. Menuduh wanita yang berimana yang tidah tahu menahu dengna perbuatan buruk dengan apa yang difitnakan kepadanya.
(HR Bukhari dan Muslim)
Jauhilah tujuh macam dosa yang bertingkat - tingkat (besar), diantaranya ialah :
1. Mempersekutukan Allah
2. Sihir
3. Membunuh diri yang diharamkan Allah kecuali dengan hak.
4. Makan harta riba
5. Makan harta anak yatim
6. Lari dari peperangan
7. Menuduh wanita yang berimana yang tidah tahu menahu dengna perbuatan buruk dengan apa yang difitnakan kepadanya.
(HR Bukhari dan Muslim)
Kesimpulan:
Cukuplah kiranya ayat, hadis dan perkataan
ulama diatas menjadi petunjuk bagi para penegak hukum untuk menjalankan tugas
dengan sebaik-baiknya.
Daftar bacaan:
1.
Terjemah
Nailul Authar-imam assyaukani-jilid enam
2.
Terjemah
tafsir ibnu katsir-ibnu hajar al-asqalaniy
3.
Etika
hakim dalam penyelenggaraan peradilan-Dr. H. Abdul Manan, S.H., S.IP., M.Hum.
5.
http://membangunpemerintahanbersih.blogspot.co.id/2011/07/penegakan-hukum-dan-keadilan-dalam.html
0 komentar
Posting Komentar