Analisis KUHP Pasal 1
Dan
RUU KUHP Pasal 1, 2 dan 3
KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA
Pasal 1
Ayat (1): “Tiada suatu perbuatan dapat dipidana kecuali atas
kekuatan aturan pidana dalam peraturan perundang-undangan yang telah ada,
sebelum perbuatan dilakukan”.
Ayat (2): “Jika sesudah perbuatan dilakukan ada perubahan
dalam perundang-undangan, dipakai aturan yang paling ringan bagi terdakwa”.
RUU KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA
Pasal 1
Ayat (1): ”Tiada seorang pun dapat dipidana atau dikenakan
tindakan, kecuali perbuatan yang dilakukan telah ditetapkan sebagai tindak
pidana dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku pada saat perbuatan itu
dilakukan”.
Ayat (2): “Dalam menetapkan adanya tindak pidana dilarang
menggunakan analogi”.
Pasal 2
Ayat (1): “Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat
(1) tidak mengurangi berlakunya hukum yang hidup dalam masyarakat yang
menentukan bahwa seseorang patut dipidana walaupun perbuatan tersebut tidak
diatur dalam peraturan perundang-undangan”.
Ayat(2): “Berlakunya hukum yang hidup dalam masyarakat
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sepanjang sesuai dengan nilai-nilai yang terkandung
dalam Pancasila, hak asasi manusia, dan prinsipprinsip hukum umum yang diakui
oleh masyarakat bangsa-bangsa”.
Pasal 3
Ayat (1): “Dalam hal terdapat perubahan peraturan
perundang-undangan sesudah perbuatan terjadi, diberlakukan peraturan
perundang-undangan yang baru dengan ketentuan peraturan perundangundangan yang
lama berlaku jika menguntungkan bagi pembuat”.
Ayat (2): “Dalam hal setelah putusan pemidanaan memperoleh
kekuatan hukum tetap, perbuatan yang terjadi tidak lagi merupakan tindak 3
pidana menurut peraturan perundang-undangan yang baru, maka pelaksanaan putusan
pemidanaan dihapuskan”.
Ayat (3): “Dalam hal setelah putusan pemidanaan memperoleh
kekuatan hukum tetap, perbuatan yang terjadi diancam dengan pidana yang lebih
ringan menurut peraturan perundang-undangan yang baru, maka pelaksanaan putusan
pemidanaan tersebut disesuaikan dengan batas-batas pidana menurut peraturan
perundangundangan yang baru”.
Penjelasan:
Jika diperhatikan secara seksama maka
terlihat adanya perubahan, penambahan kata maupun penambahan pasal dan ayat
dalam RUU KUHP khususnya pada pasal 1, 2 dan 3. Adanya perubahan, penambahan
kata maupun penambahan pasal dan ayat dalam RUU KUHP menyebabkan perubahan arti
seperti memperluas ataupun mempersempit makna dari KUHP yang berlaku pada saat
ini. Berikut adalah uraian singkatnya:
1. “Tiada suatu perbuatan dapat
dipidana”. Kata ‘Perbuatan’ dalam kalimat tersebut dapat diartikan sebagai
suatu tindakan, suatu pekerjaan atau sesuatu yang diperbuat. Kemudian dalam RUU
KUHP diganti dengan kata ‘Tiada seorangpun dapat dipidana’ dengan menggunakan
kata ‘seorangpun’ yang menunjukkan arti kepada orang yang melakukan suatu
perbuatan atau pelaku. Maka menurut saya yang lebih tepat adalah menggunakan
kata ‘Tiada seorangpun dapat dipidana’
sebagaimana yang dicantumkam dalam RUU KUHP. Karena yang dapat dipidana adalah
orang atau pelaku tindak pidana bukan perbuatan itu sendiri.1.
2. “Dapat
dipidana”. Kata ‘dipidana’ lebih rinci dijelaskan dalam pasal 10 KUHP mengenai
macam-macam pidana atau sanksi. Kemudian dalam RUU KUHP kata ‘dipidana’ ditambah
dengan ‘dikenakan tindakan’. ‘Dikenakan
tindakan’ bisa bermakna sanksi diluar hukuman pidana sebagaimana yang dimaksud
pada pasal 10 KUHP. Macam-macam tindakan yaitu,
A. Tindakan perawatan dirumah sakit jiwa
B. Tindakan penyerahan kepada pemerintah
C. Tindakan pencabutan surat izin
mengemudi
D. Tindakan perampasan keuntungan
E. Tindakan perbaikan
F. Tindakan latihan kerja
G. Tindakan rehabilitasi
H. Tindakan perawatan
I. Kewajiban melakukan kerja sosial
sebagaimana dicantumkan pada pasal 66 huruf (e) dan tindakan-tindakan lain yang
bisa dilihat lebih lanjut pada pasal 103-112 RUU KUHP.
3. “Perundang-undangan
yang telah ada”. Kalimat ini bisa bermakna umum baik undang-undang yang masih berlaku ataupun yang sudah dihapus.
Maka pada RUU KUHP arti kalimat tersebut dipersempit dengan menggunakan kalimat
“Perundang-undangan yang berlaku”. Artinya pidana yang dijatuhkan hanya
berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku pada saat perbuatan itu
dilakukan.1.
Ayat
2 tentang larangan melakukan analogi.
4. Meskipun tidak secara jelas dicantumkan
larangan melakukan analogi, namun larangan tersebut sebenarnya sudah dimuat
pada pasal 1 ayat 1 baik KUHP yang berlaku pada saat ini maupun pada RUU KUHP.
Tidak bolehnya melakukan analogi dapat kita temukan pada kalimat “Kecuali indakan
pidana dalam perundang-undangan yang berlaku” yang berarti bahwa suatu
perbuatan dikatakan terlarang dan dapat dipidana apabila telah diatur dalam
undang-undang tanpa melakukan analogi. Namun pada RUU KUHP larangan analogi
disebutkan dalam ayat yang terpisah dari asas legalitas(pasal 1 ayat 1)
meskipun para sarjana masih berbeda pendapat mengenai arti dan boleh atau
tidaknya melakukan analogi.Pasal 2 ayat 1 mengakui keberadaan hukum yang
hidup didalam masyarakat seperti hukum adat atau syari’at islam yang berlaku di
Daerah Istimewa Nangroe Aceh Darussalam.
Sebenarnya pasal 2 ayat 1 kelihatan
bertentangan dengan pasal 1 ayat 1. Pasal 1 ayat 1 yang menyatakan bahwa
hukuman harus berdasarkan pada hukum yang tertulis sedangkan hukum adat tidak
tertulis sebagaimana peraturan perundangan-undangan tertulis lain. Namun hal
ini dapat dikompromikan dan disesuaikan dengan kondisi bangsa Indonesia yang
memiliki kearifan lokal, budaya, kebiasaan, nilai-nilai hidup dan aturan-aturan
adat yang tidak dimiliki oleh bangsa lain.
Sebagaimana disebutkan dalam pasal 10
ayat (1) UU No. 58 Tahun 2009 bahwa hakim tidak boleh menolak memeriksa,
mengadili dan memutus suatu perkara dengan alasan hukum yang mengatur tentang
perbuatan tersebut tidak ada didalam undang-undang. Jadi dalam menangani suatu
perkara, hakim terlebih dahulu mencari ketentuannya di dalam
perundang-undangan, jika tidak ditemukan maka hakim mencari perjanjian yang
dilakukan oleh para pihak, jika tidak ditemukn maka hakim mencari nilai-nilai
hukum yang hidup didalam masyarakat, dan jika tidak ditemukan maka hakim
menggunakan kewenangannya menciptakan hukum(Rechvinding).
Diakomodirnya hukum
yang hidup di dalam masyarakat sebagai salah satu hukum pelengkap hukum
tertulis terlihat dalam putusan beberapa kasus seperti zina yang dilakukan di
Aceh dan beberapa kasus lain yang meskipun perbuatan tersebut tidak diatur
dalam peraturan perundang-undangan namun hakim tetap memutuskan hukuman pidana
pada pelakunya. Dengan adanya yurisprudensi ini menunjukkan digunakannya
nilai-nilai hukum yang hidup di dalam masyarakat sebagai bahan pertimbangan
hakim dan pelengkap hukum-hukum tertulis.
Adapun syarat
diterimanya hukum yang hidup dalam masyarakat sebagai pertimbangan hakim dalam
memberikan putusan pada suatu perkara adalah sepanjang sesuai dengan
nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila, hak asasi manusia, dan
prinsip-prinsip hukum umum yang diakui oleh masyarakat bangsa-bangsa.
Sebagaimana kita
ketahui dalam sejarah, bahwa munculnya positivisme hukum berawal dari tindakan
raja yang sewenang-wenang dalam menetapkan hukum. Rakyat tidak tahu perbuatan
mana yang tidak boleh dilakukan dan mana yang boleh dilakukan. Maka untuk
keluar dari kondisi kekacauan hukum itu rakyat berfikir untuk mengadakan
positivisme hukum. Artinya raja tidak boleh menetapkan hukum sekehendak hati
karena hukum telah dibukukan. Setiap perbuatan yang dilarang disebutkan didalam
undang-undang. Maka diluar undang-undang suatu perbuatan tidak dapat dipidana.
Ajaran ini tidak bisa disalahkan mengingat kondisi
hukum di Romawi yang tidak pasti pada saat itu yang mengharuskan adanya
positivisme hukum untuk memangkas kewenangan raja dalam menetapkan hukum. Namun
ajaran positivisme hukum mutlak juga tidak bisa dibenarkan di Indonesia karena
kondisi kita yang jauh dari masa-masa kekacauan hukum dan kondisi masyarakat Indonesia
yang berbeda dengan masyarakat Romawi.
Jauh sebelum mengenal adanya KUHP dan peraturan perundang-undangan
lain masyarakat telah mengenal dan menerapkan hukum kebiasaan/ adat. Meskipun
hukum ini tidak tertulis namun tetap dipatuhi karena dianggap memiliki kekuatan
hukum, mempunyai sanksi dan orang-orang yang bertugas menegakkan hukum ketika
terjadi suatu pelanggaran. Maka nilai-nilai hukum inilah yang harus tetap
dijaga sebagai ciri khas masyarakat Indonesia.
5. Dibandingkan dengan Pasal 2 KUHP, Pasal 3 RUU
KUHP mengatur dan menjelaskan secara rinci tentang peraturan mana yang dipakai
apabila terjadi perubahan peraturan perundang-undangan.
6. Dalam KUHP Pasal 1 ayat 2, ketika perbuatan
pidana dilakukan maka peraturan perundang-undangan baru atau peraturan
perundang-undangan lama bisa diterapkan dengan pertimbangan mana yang lebih
menguntungkan bagi pelaku. Namun berdasarkan RUU KUHP pada dasarnya yang
digunakan adalah peraturan perundang-undangan yang baru sebagaimana asas ‘lex
posterior derogat legi priori’ bahwa hukum yang datang kemudian menghapuskan
hukum yang terdahulu.
8. Berbeda
dengan KUHP, ketika terjadi perubahan peraturan perundangan-undangan setelah
putusan pemidanaan memperoleh kekuatan hukum tetap maka pada RUU KUHP berlaku pula ketentuan:
A. Apabila menurut peraturan baru
perbuatan yang dilakukan bukan lagi merupakan tindak pidana, maka pelaksaan
putusan pemidanaan dihapuskan.
B. Apabila menurut peraturan baru
perbuatan yang dilakukan diancam dengan hukuman yang lebih ringan, maka
pelaksaan putusan tersebut disesuaikan dengan batas-batas pidana menurut
perundang-undangan yang baru.
Terima Kasih.
0 komentar
Posting Komentar