@font-face { font-family: "zerro"; src: url(https://sites.google.com/site/amiengblog/kumpulan-fonts/zero.ttf) format("truetype"); } #header .title {

Prinsip hidup yang benar adalah

MENJADI 'ABDI TUHAN, BUKAN ABDI DUNIA APALAGI ABDI NEGARA.
Diberdayakan oleh Blogger.

Apa manfaat blog qalam pencerah?

Blog ini dibuat untuk menyalurkan hobi admin serta mempublikasikan informasi yang dibutuhkan oleh pembaca.

Blogroll

Galeri

Selasa, 15 Maret 2016

Analisis asas legalitas pada RUU KUHP



Analisis KUHP Pasal 1
Dan
RUU KUHP Pasal 1, 2 dan 3

KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA

Pasal 1

Ayat (1): “Tiada suatu perbuatan dapat dipidana kecuali atas kekuatan aturan pidana dalam peraturan perundang-undangan yang telah ada, sebelum perbuatan dilakukan”.

Ayat (2): “Jika sesudah perbuatan dilakukan ada perubahan dalam perundang-undangan, dipakai aturan yang paling ringan bagi terdakwa”.

RUU KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA

Pasal 1

Ayat (1): ”Tiada seorang pun dapat dipidana atau dikenakan tindakan, kecuali perbuatan yang dilakukan telah ditetapkan sebagai tindak pidana dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku pada saat perbuatan itu dilakukan”.

Ayat (2): “Dalam menetapkan adanya tindak pidana dilarang menggunakan analogi”.

Pasal 2

Ayat (1): “Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1) tidak mengurangi berlakunya hukum yang hidup dalam masyarakat yang menentukan bahwa seseorang patut dipidana walaupun perbuatan tersebut tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan”.

Ayat(2): “Berlakunya hukum yang hidup dalam masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sepanjang sesuai dengan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila, hak asasi manusia, dan prinsipprinsip hukum umum yang diakui oleh masyarakat bangsa-bangsa”.

Pasal 3

Ayat (1): “Dalam hal terdapat perubahan peraturan perundang-undangan sesudah perbuatan terjadi, diberlakukan peraturan perundang-undangan yang baru dengan ketentuan peraturan perundangundangan yang lama berlaku jika menguntungkan bagi pembuat”.

Ayat (2): “Dalam hal setelah putusan pemidanaan memperoleh kekuatan hukum tetap, perbuatan yang terjadi tidak lagi merupakan tindak 3 pidana menurut peraturan perundang-undangan yang baru, maka pelaksanaan putusan pemidanaan dihapuskan”.

Ayat (3): “Dalam hal setelah putusan pemidanaan memperoleh kekuatan hukum tetap, perbuatan yang terjadi diancam dengan pidana yang lebih ringan menurut peraturan perundang-undangan yang baru, maka pelaksanaan putusan pemidanaan tersebut disesuaikan dengan batas-batas pidana menurut peraturan perundangundangan yang baru”.

Penjelasan:

Jika diperhatikan secara seksama maka terlihat adanya perubahan, penambahan kata maupun penambahan pasal dan ayat dalam RUU KUHP khususnya pada pasal 1, 2 dan 3. Adanya perubahan, penambahan kata maupun penambahan pasal dan ayat dalam RUU KUHP menyebabkan perubahan arti seperti memperluas ataupun mempersempit makna dari KUHP yang berlaku pada saat ini. Berikut adalah uraian singkatnya:
1.       “Tiada suatu perbuatan dapat dipidana”. Kata ‘Perbuatan’ dalam kalimat tersebut dapat diartikan sebagai suatu tindakan, suatu pekerjaan atau sesuatu yang diperbuat. Kemudian dalam RUU KUHP diganti dengan kata ‘Tiada seorangpun dapat dipidana’ dengan menggunakan kata ‘seorangpun’ yang menunjukkan arti kepada orang yang melakukan suatu perbuatan atau pelaku. Maka menurut saya yang lebih tepat adalah menggunakan kata ‘Tiada seorangpun dapat  dipidana’ sebagaimana yang dicantumkam dalam RUU KUHP. Karena yang dapat dipidana adalah orang atau pelaku tindak pidana bukan perbuatan itu sendiri.1.     
2. “Dapat dipidana”. Kata ‘dipidana’ lebih rinci dijelaskan dalam pasal 10 KUHP mengenai macam-macam pidana atau sanksi. Kemudian dalam RUU KUHP kata ‘dipidana’ ditambah dengan ‘dikenakan tindakan’.  ‘Dikenakan tindakan’ bisa bermakna sanksi diluar hukuman pidana sebagaimana yang dimaksud pada pasal 10 KUHP. Macam-macam tindakan yaitu,
A.   Tindakan perawatan dirumah sakit jiwa
B.     Tindakan penyerahan kepada pemerintah
C.     Tindakan pencabutan surat izin mengemudi
D.    Tindakan perampasan keuntungan
E.     Tindakan perbaikan
F.     Tindakan latihan kerja
G.    Tindakan rehabilitasi
H.    Tindakan perawatan
I.      Kewajiban melakukan kerja sosial sebagaimana dicantumkan pada pasal 66 huruf (e) dan tindakan-tindakan lain yang bisa dilihat lebih lanjut pada pasal 103-112 RUU KUHP.
3. “Perundang-undangan yang telah ada”. Kalimat ini bisa bermakna umum baik undang-undang  yang masih berlaku ataupun yang sudah dihapus. Maka pada RUU KUHP arti kalimat tersebut dipersempit dengan menggunakan kalimat “Perundang-undangan yang berlaku”. Artinya pidana yang dijatuhkan hanya berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku pada saat perbuatan itu dilakukan.1.     Ayat 2 tentang larangan melakukan analogi. 
4. Meskipun tidak secara jelas dicantumkan larangan melakukan analogi, namun larangan tersebut sebenarnya sudah dimuat pada pasal 1 ayat 1 baik KUHP yang berlaku pada saat ini maupun pada RUU KUHP. Tidak bolehnya melakukan analogi dapat kita temukan pada kalimat “Kecuali indakan pidana dalam perundang-undangan yang berlaku” yang berarti bahwa suatu perbuatan dikatakan terlarang dan dapat dipidana apabila telah diatur dalam undang-undang tanpa melakukan analogi. Namun pada RUU KUHP larangan analogi disebutkan dalam ayat yang terpisah dari asas legalitas(pasal 1 ayat 1) meskipun para sarjana masih berbeda pendapat mengenai arti dan boleh atau tidaknya melakukan analogi.Pasal 2 ayat 1 mengakui keberadaan hukum yang hidup didalam masyarakat seperti hukum adat atau syari’at islam yang berlaku di Daerah Istimewa Nangroe Aceh Darussalam. 
     Sebenarnya pasal 2 ayat 1 kelihatan bertentangan dengan pasal 1 ayat 1. Pasal 1 ayat 1 yang menyatakan bahwa hukuman harus berdasarkan pada hukum yang tertulis sedangkan hukum adat tidak tertulis sebagaimana peraturan perundangan-undangan tertulis lain. Namun hal ini dapat dikompromikan dan disesuaikan dengan kondisi bangsa Indonesia yang memiliki kearifan lokal, budaya, kebiasaan, nilai-nilai hidup dan aturan-aturan adat yang tidak dimiliki oleh bangsa lain.
     Sebagaimana disebutkan dalam pasal 10 ayat (1) UU No. 58 Tahun 2009 bahwa hakim tidak boleh menolak memeriksa, mengadili dan memutus suatu perkara dengan alasan hukum yang mengatur tentang perbuatan tersebut tidak ada didalam undang-undang. Jadi dalam menangani suatu perkara, hakim terlebih dahulu mencari ketentuannya di dalam perundang-undangan, jika tidak ditemukan maka hakim mencari perjanjian yang dilakukan oleh para pihak, jika tidak ditemukn maka hakim mencari nilai-nilai hukum yang hidup didalam masyarakat, dan jika tidak ditemukan maka hakim menggunakan kewenangannya menciptakan hukum(Rechvinding). 
    Diakomodirnya hukum yang hidup di dalam masyarakat sebagai salah satu hukum pelengkap hukum tertulis terlihat dalam putusan beberapa kasus seperti zina yang dilakukan di Aceh dan beberapa kasus lain yang meskipun perbuatan tersebut tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan namun hakim tetap memutuskan hukuman pidana pada pelakunya. Dengan adanya yurisprudensi ini menunjukkan digunakannya nilai-nilai hukum yang hidup di dalam masyarakat sebagai bahan pertimbangan hakim dan pelengkap hukum-hukum tertulis.
   Adapun syarat diterimanya hukum yang hidup dalam masyarakat sebagai pertimbangan hakim dalam memberikan putusan pada suatu perkara adalah sepanjang sesuai dengan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila, hak asasi manusia, dan prinsip-prinsip hukum umum yang diakui oleh masyarakat bangsa-bangsa.
     Sebagaimana kita ketahui dalam sejarah, bahwa munculnya positivisme hukum berawal dari tindakan raja yang sewenang-wenang dalam menetapkan hukum. Rakyat tidak tahu perbuatan mana yang tidak boleh dilakukan dan mana yang boleh dilakukan. Maka untuk keluar dari kondisi kekacauan hukum itu rakyat berfikir untuk mengadakan positivisme hukum. Artinya raja tidak boleh menetapkan hukum sekehendak hati karena hukum telah dibukukan. Setiap perbuatan yang dilarang disebutkan didalam undang-undang. Maka diluar undang-undang  suatu perbuatan tidak dapat dipidana.
      Ajaran ini tidak bisa disalahkan mengingat kondisi hukum di Romawi yang tidak pasti pada saat itu yang mengharuskan adanya positivisme hukum untuk memangkas kewenangan raja dalam menetapkan hukum. Namun ajaran positivisme hukum mutlak juga tidak bisa dibenarkan di Indonesia karena kondisi kita yang jauh dari masa-masa kekacauan hukum dan kondisi masyarakat Indonesia yang berbeda dengan masyarakat Romawi.
    Jauh sebelum mengenal adanya KUHP dan peraturan perundang-undangan lain masyarakat telah mengenal dan menerapkan hukum kebiasaan/ adat. Meskipun hukum ini tidak tertulis namun tetap dipatuhi karena dianggap memiliki kekuatan hukum, mempunyai sanksi dan orang-orang yang bertugas menegakkan hukum ketika terjadi suatu pelanggaran. Maka nilai-nilai hukum inilah yang harus tetap dijaga sebagai ciri khas masyarakat Indonesia.
5. Dibandingkan dengan Pasal 2 KUHP, Pasal 3 RUU KUHP mengatur dan menjelaskan secara rinci tentang peraturan mana yang dipakai apabila terjadi perubahan peraturan perundang-undangan.
6. Dalam KUHP Pasal 1 ayat 2, ketika perbuatan pidana dilakukan maka peraturan perundang-undangan baru atau peraturan perundang-undangan lama bisa diterapkan dengan pertimbangan mana yang lebih menguntungkan bagi pelaku. Namun berdasarkan RUU KUHP pada dasarnya yang digunakan adalah peraturan perundang-undangan yang baru sebagaimana asas ‘lex posterior derogat legi priori’ bahwa hukum yang datang kemudian menghapuskan hukum yang terdahulu.
8. Berbeda dengan KUHP, ketika terjadi perubahan peraturan perundangan-undangan setelah putusan pemidanaan memperoleh kekuatan hukum tetap maka pada RUU KUHP berlaku pula ketentuan:
A. Apabila menurut peraturan baru perbuatan yang dilakukan bukan lagi merupakan tindak pidana, maka pelaksaan putusan pemidanaan dihapuskan.
B. Apabila menurut peraturan baru perbuatan yang dilakukan diancam dengan hukuman yang lebih ringan, maka pelaksaan putusan tersebut disesuaikan dengan batas-batas pidana menurut perundang-undangan yang baru.

Terima Kasih.

0 komentar

Posting Komentar